Manusia adalah makhluk individu dan sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Kehidupan sosial dimulai dari seseorang itu lahir di dunia, dia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dan dia juga mulai berinteraksi dengan orang lain terutama dengan orangtua khususnya ibu. Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan-kebutuhan, baik berupa material maupun spiritual. Interaksi sosial memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan sosial dan proses sosialisasi, karena tanpa interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan sosial. Interaksi sosial menyangkut pemenuhan berbagai aspek kebutuhan sosial yang antara lain, segi ekonomi (makanan, papan, pakaian), politik (wewenang dan kekuasaan), dan hukum (norma-norma, undang-undang). Setiap aspek tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Sosialisasi adalah soal belajar, dalam proses ini anak akan belajar segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Seorang anak akan bersosialisasi dengan kehidupan di sekitarnya agar dapat memiliki dan mengikuti kebudayaan setempat.

Pengertian sosialisasi banyak disampaikan oleh para ahli antara lain yaitu Nasution (1999:126) menyatakan bahwa proses sosialisasi adalah proses membimbing individu ke dalam dunia sosial. Menurut pandangan Kimball Young (Gunawan, 2000:33), sosialisasi ialah hubungan interaktif yang dengannya seseorang mempelajari keperluan-keperluan sosial dan kultural yang menjadikan seseorang sebagai anggota masyarakat. Pendapat dua ahli tersebut sama-sama menyatakan bahwa sosialisasi merupakan proses individu menjadi anggota masyarakat.

Pendapat tentang pengertian sosialisasi juga disampaikan oleh Gunawan (2000:33) yang menyatakan bahwa sosialisasi dalam arti sempit merupakan proses bayi atau anak menempatkan dirinya dalam cara atau ragam budaya masyarakatnya (tuntutan-tuntutan sosiokultural keluarga dan kelompok-kelompok lainnya). Sedangkan Soekanto (1985:71) menyatakan bahwa sosialisasi mencakup proses yang berkaitan dengan kegiatan individu-individu untuk mempelajari tertib sosial lingkungannya, dan menyerasikan pola interaksi yang terwujud dalam konformitas, nonkonformitas, penghindaran diri, dan konflik. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa dalam sosialisasi individu belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa sosialisasi adalah proses individu dalam mempelajari keperluan-keperluan sosial dan kultural di sekitarnya yang mengarah ke dunia sosial.

Sueann Robinson Ambron (Yusuf, 2004:123) menyatakan bahwa sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif. Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi proses perlakuan dan bimbingan orangtua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma-norma kehidupan bermasyarakat. Proses membimbing yang dilakukan oleh orangtua tersebut disebut proses sosialisasi.

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk bersosialisasi. Keluarga juga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Hal itu karena pendidikan yang diperoleh seseorang pertama kali sejak lahir adalah keluarga. Selain itu dalam lingkungan keluarga sebagian potensi yang dimiliki manusia terbentuk dan berkembang. Keluarga lebih banyak mengembangkan kepribadian anak. Soekanto (2004:23) mengungkapkan bahwa keluarga memiliki peranan penting bagi perkembangan kepribadian seseorang.

Pendidikan keluarga dapat dipilah menjadi dua yaitu pendidikan prenatal dan postnatal. Pendidikan prenatal adalah pendidikan anak sebelum lahir, misalnya mitoni (acara selamatan tujuh bulanan bagi orang hamil), dan doa-doa untuk si janin. Sedangkan postnatal adalah pendidikan setelah lahir termasuk proses sosialisasi anak dalam keluarga.

Keluarga memiliki peranan penting dalam proses sosialisasi anak, karena sebagian besar waktu yang dimiliki anak dihabiskan dalam keluarga. Menurut Ahmadi (2004:175), keluarga merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi face to face secara tetap. Oleh karena itu, perkembangan anak dapat diikuti oleh orangtua dan hubungan sosial di dalamnya mudah terjadi. Hubungan antar individu dalam lingkungan sangat mempengaruhi kejiwaan anak, dan dampaknya akan terlihat sampai kelak ketika ia menginjak dewasa. Suasana yang kondusif, penuh kasih sayang, dan perhatian dalam keluarga akan membuat anak mampu beradaptasi dengan keluarganya dan masyarakat sekitar. Salah satu kewajiban penting orangtua adalah mendidik anak dalam keluarga. Dalam keluarga anak mendapat berbagai materi pendidikan, agama, budi pekerti, sikap, dan berbagai keterampilan yang berguna bagi kehidupannya mendatang. Materi pendidikan tersebut diperoleh anak melalui proses sosialisasi.

Mengingat pentingnya peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak, maka orangtua hendaknya memiliki pengetahuan tentang pendidikan dalam keluarga. Masalah yang dialami saat ini adalah adanya pernikahan dini. Umumnya mereka belum siap menjadi orangtua, dan hal ini dapat mempengaruhi perkembangan anak.

Usia pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun, sementara laki-laki 25-28 tahun (Jalu, 2004). Karena di usia tersebut organ reproduksi perempuan secara fisiologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan. Secara psikis pun mulai matang. Sementara laki-laki, pada saat itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi, dan sosial. Kasus-kasus pernikahan dini tidak hanya terjadi pada perempuan tetapi juga pada laki-laki. Dewasa ini pernikahan dini banyak terjadi pada perempuan. Akan tetapi tidak hanya didominasi oleh anak-anak perempuan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah tetapi juga di kalangan atas.

Pernikahan dini yang terjadi di masyarakat pedesaan biasanya terjadi karena tingkat ekonomi yang rendah. Hal tersebut merupakan bentuk solusi pembagian tanggung jawab dari keluarga. Dengan menikahkan anaknya, lepaslah tanggung jawab orangtua untuk menafkahi anaknya. Di Indonesia pernikahan dini 15-20% dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya pernikahan dini dilakukan pada pasangan muda yang rata-rata umurnya 18, 19, dan 20 tahun. Secara nasional, pernikahan dini dengan usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,9% (Jalu, 2004). Orang yang menikah pada usia muda belum dewasa secara psikis dan secara ekonomis juga belum memiliki persiapan kerja, jadi belum siap menjadi orangtua. Padahal dalam keluarga, orangtua memiliki fungsi-fungsi yang harus dijalankan. Menurut Oqbum (Ahmadi, 2004:108), menyatakan bahwa fungsi keluarga meliputi fungsi kasih sayang, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi perlindungan/penjagaan, fungsi rekreasi, fungsi status keluarga, dan fungsi agama. Salah satu fungsi keluarga tersebut adalah fungsi pendidikan. Bagi perempuan yang tidak berpendidikan dan tidak siap menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga, dia tidak dapat mendidik anaknya dengan baik. Padahal keluarga memegang peranan penting dalam proses sosialisasi anak.


* sisa tugasmid semester kuliah antropologi pendidikan

Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Penampilan dianggap efektif diantarannya jika suatu keluarga mampu melaksanakan tugas-tugasnya, menurut (Achlis, 1992) keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi social tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan dalam mewujudkan nilai dirinnya mencapai kebutuhan hidupnya.

Keberfungsian sosial kelurga mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta adaptasi resprokal antara keluarga dengan anggotannya, dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya dll. Kemampuan berfungsi social secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunnya jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.

Ciri-ciri implementasi kurikulum berbasis kesetaraan gender, antara lain: pertama, semua peserta didik memperoleh kesempatan yang sama dalam memperoleh pengalaman belajar sebagaimana yang tertera dalam kurikulum yang berlaku; kedua, materi pembelajarannya dikembangkan dari berbagai sumber dan tidak bisa gender; dan ketiga, menekankan pada partisipasi yang sama semua peserta didik dalam proses transmisi dan transformasi pengalaman belajar di sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, sesungguhnya, implementasi kurikulum berbasis kesetaraan gender dipandang relevan diterapkan dalam kurikulum yang berlaku pada saat ini, yaitu KTSP. Model implementasi kurikulum berbasis kesetaraan gender sesuai dengan hakekat proses pendidikan yang pemanusiaan peserta didik. Proses pendidikan merupakan proses pengembangan segenap potensi peserta didik.

Bagaimana realisasinya di sekolah? Apabila kita sepakat bahwa model implementasi kurikulum berbasis kesetaraan gender sebagai alternatifnya, hal ini bukan berarti bahwa desain kurikulum yang ada dianggap tidak berlaku sama sekali. Di sini, diperlukan adanya berbagai modifikasi atas berbagai komponen kurikulum, terutama yang berkaitan dengan proses pembelajaranya di sekolah. Pola pengembangannya bersifat integrated.

Dua pola penerapan model implementasi kurikulum berbasis kesetaraan gender. Pertama, mengembangkan desain kurikulum (silabus dan RPP) dengan berwawasan kesetaraan gender. Artinya, aspek-aspek kurikulum yang terkait dalam desain kurikulum dikembangkan dengan mengacu pada kesetaraan gender, misalnya; pengembangan materi pembelajaran tak diskriminatif.

Kedua, menggunakan berbagai model pembelajaran berbasis kesetaraan gender dalam implementasi kurikulum yang sedang berjalan. Di sini, yang perlu ditekankan adalah memberi kesempatan yang sama semua peserta didik dalam memperoleh pengalaman belajar di sekolah sehari-hari. Model-model pembelajaran berbasis budaya yang bisa digunakan adalah model pembelajaran pemecahan masalah, model pembelajaran inkuiri, model pembelajaran kontektual, dan lain-lain.



*DI SAMPAIKAN DALAM TALKSHOW

OLEH ANIK GHUFRONI Penulis dosen FIP Universitas Negeri Yogyakarta YANG DI SELENGARAKAN HIMA SOSIOLOGI ANTROPOLOGI UNNES SEMARANG


Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, karena sebagian besar penduduk di Indonesia adalah bekerja di sektor pertanian. Dimana tujuan utama dari petani adalah untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari keluarga saja, dan tidak ada orientasi produksi untuk memperoleh keuntungan secara komersial. Manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara moral mapun material, baik kebutuhan penting maupun tidak, sesuai dengan kemampuan manusia. Kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar adalah kebutuhan yang keberadaanya sangat dibutuhkan guna kelangsungan hidup baik itu kebutuhan jasa maupun barang. Sebab kebutuhan dasar merupakan tingkat minimum yang dapat dinikmati oleh setiap orang. Selain kebutuhan pokok terdapat pula kebutuhan sekunder.

Pada kenyataan yang ada di masyarakat adalah para petani banyak mengalami persoalan khususnya dalam bidang ekonomi. Mubyarto (1972:30) menyebutkan bahwa banyak persoalan yang dihadapi oleh petani, baik yang berhubungan langsung dengan produksi dan pemasaran hasil-hasil pertanian maupun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Selain merupakan usaha, bagi petani, pertanian sudah merupakan bagian dari hidup, bahkan suatu cara hidup. Sehingga tidak hanya aspek sosial dan kebudayaan, aspek kepercayaan dan keagamaan, serta aspek tradisi, semuanya memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun demikian dari segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petanian dan tingkat harga yang diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani.

Keperluan petani terutama bagi petani yang memiliki lahan pertanian, pada saat musim tanam tiba sangalah besar karena selain kebutuhan hidup sehari-hari petani juga membutuhkan biaya modal untuk proses produksi pertaniannya seperti untuk membeli bibit, pupuk atau tanaga produksi mengingat sekarang sistem sambatan pada masyarakat ini sudah mulai tergantikan dengan sistem nilai uang. Untuk menghadapi berbagai permasalahan ekonomi seperti apa yang diungkapkan di atas seringkali dijumpai pada petani adalah malakukan sistem paron. Tingkat kebutuhan petani yang cukup banyak mendorong petani melakukan sistem paron untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar khususnya menjelang musim tanam tiba.

Sistem paron dapat diartikan bagi hasil pertanian antara pemilik lahan, dengan petani buruh. Mekanisme sistem paron pada masyarakat petani adalah pemilik lahan pertanian meminjamkan lahanya untuk digarap dan diolah oleh petani buruh yang telah melakukan perjanjian sebelumnya, dimana dalam perjanjian tersebut ada kedepakatan mengenai kapasitas masing-masing, hak dan kewajiban masing-masing pula. Petani buruh memiliki peran yang besar dalam proses produksi pertanian. Dengan cara mengolah tanah pertanian milik orang lain, biasanya bahan produksi atau tanamanya berasal dari petani buruh. Biasanya pemilik lahan hanya meminjamkan lahanya saja. Dan pembagian keuntungan dilakukan dan diperoleh dari hasil pertanian, baik dalam hasil produksi ataupun keuntungan dari hasil penjualan panen. Dan kerugian pada saat proses pengolahan produksi menjadi tanggung jawab petani buruh

Praktek paron berkembang bukan semata-mata karena keinginan pemilik lahan saja, tetapi ini merupakan dasar kebutuhan dan perjanjian/kesepakatan bersama antara pemilik lahan dan petani buruh Pemberi modal memerlukan bisnis sedangkan petani buruh membutuhkan modal untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Dari segi objektif dan penilaian dari segi ekonomis semata-mata sistem paron sangat nerugikan petani buruh, tetapi masyarakat petani tetap saja memanfaatkan. hal ini tentunya faktor kebutuhan yang mendesak serta tingkat kemudahan untuk mencari kebutuhan uang yang relatif mudah apabila dibandingkan dengan sebuah instans seperti bank misalnya Petani melakukan tindakan ekonomi paron karena adanya kebutuhan uang yang banyak untuk ukuran kebutuhan sehari-hari dan mendasar serta kebutuhan untuk modal produksi pertanian.


*dari sisa tuga Antropologi Ekonomi

Quadragesimo Anno adalah sebuah ensiklik oleh Paus Pius XI, yang dikeluarkan 15 Mei 1931, 40 tahun setelah Rerum Novarum (demikian nama, Latin untuk 'dalam tahun keempat puluh'). Tidak seperti Leo, yang membahas kondisi pekerja, Pius XI membahas implikasi etis sosial dan tatanan ekonomi. Pius XI panggilan untuk rekonstruksi tatanan sosial berdasarkan prinsip solidaritas dan subsidiaritas. Dia mencatat bahaya besar bagi kebebasan dan martabat manusia, yang timbul dari kapitalisme yang tak terkendali dan totaliter komunisme.

Followers

Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger