PEMIKIRANYA :

  1. Sistem sosiologi didasarkan pada konsep in-group dan out-group.
  2. Masyarakat merupakan peleburan dari kelompokkelompok sosial
  3. Empat dorongan yang universal dalam diri manusia yaitu
    1. Rasa lapar
    2. Rasa cinta
    3. Rasa takut
    4. Rasa hampa.


Indonesia memang sudah setengah abad lebih merdeka dan tanggal 17 Agustus 2004 yang akan datang merupakan HUT RI ke-59. Usia tersebut untuk ukuran manusia sudah tergolong senja. Hanya saja, bagi sebuah negara masih tergolong muda.

Rakyat tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga begitu mudah menjadi salah satu pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media massa. Mills menyebut mereka sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sejati tentang isi dari informasi atau isu-isu para elit. ( W. Mills. The Power Elite, 1956).

MASYARAKAT SEBAGAI KENYATAAN OBJEKTIF

A. PELEMBAGAAN

Organisme dan aktivitas

Manusia mempunyai dorongan naluri yang tidak terspesialisasi dan terarah. Oleh sebab itu manusia secara biologis masih terus berkembang sementara ia sudah berhubunagn dengan lingkungannya. Dengan kata lain, proses menjadi manusia berlangsung dalam hubungan timbal balik dengan suatu lingkungan. Maka perkembangan diri juga harus dimengerti dalam kaitan dengan perkembangan organisme yang berlangsung terus-menerus dan dengan proses sosial dimana diri itu berhubungan dengan lingkungan manusia yang alami dan yang manusiawi melalui orang-orang yang berpengaruh.

Asal mula pelembagaan

Proses pembiasaan Terhadap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi dengan upaya sekecil mungkin dan mendahului setiap proses pelembagaan yang terjadi apabila ada suatu tipifikasi yang memunculkan timbal balik dari tindakan yang sudah terbiasa bagi pelaku.

Lembaga selanjutnya mengimplikasi historis dan pengendalian. Lembaga mempunyai kenyataan yang dihadapi individu sebagai satu fakta yang eksternal dan memaksa. Maka sebuah dunia kelembagaan dialami sebagai suatu kenyataan yang obyektif. Ia mempunyai sejarah yang mendahului kelahiran individu dan tidak bisa dimasuki oleh ingatan biografisnya. Dunia itu sudah ada sebelum ia lahir dan akan tetap ada sesudah ia mati. Dan secara de facto, lembaga memang terintegrasi.

Pengendapan dan Tradisi

Hanya sebagian kecil dari keseluruhan pengalaman manusia tersimpan dalam kesadaran kemudian mengendap dalam ingatan sebagai entitas yang bisa dikenal dan diingat kembali. Tanpa terjadi pengendapan tersebut individu tidak dapat memahami biografinya.

Bahasa lalu menjadi tempat penyimpanan kumpulan besar endapan kolektif yang bisa diperoleh secara monotetik, artinya sebagai keseluruhan yang kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Oleh karena itu asal mula dari endapan menjadi tidak penting, maka tradisi bisa saja menciptakan suatu asal mula yang berbeda sekali tanpa menimnulkan ancaman bagi apa yang telah diobyektivasi itu.

Peranan

Agar bentuk tindakan dapat ditipifikasi maka harus memiliki arti obyektif, yang pada akhirnya memerlukan suatu obyektifikasi linguistik. Artinya harus ada kosakata yang mengacu bentuk tindakan tersebut. Dan pelaku harus mengdentifikasi dirinya dengan tipifikasi perilaku yang diobyektivasi secara sosial.

Peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan, pertama pelaksanaan peranan perepresentasikan dirinya sendiri dan kedua peranan merepresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yang melembaga.

Lingkup dan cara-cara Pelembagaan

Secara formal, lingkup pelembagaan tergantung pada sifat umum dari struktur relevansinya. Jika bagian terbesar dari struktur relevansinya dimiliki oleh masyarakat, maka lingkup pelembagaannya luas.

Pelembagaan bukan suatu proses yang tidak bisa dibalikkan, karena sebab historis, lingkup tindakan yang sudah dilembagakan bisa menciut dan terjadi pembongkaran lembaga. Satu konsekuensi lain dari segmentasi kelembagaan adalah kemungkinan adanya berbagai subuniversum yang secara sosial terpisah satu sama lain.


B. LEGITIMASI

Asal mula universum simbolis

Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi tingkat pertama yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara obyektif. Mengacu pada dua tingkat, pertama keseluruhan taatanan kelembagaan harus dimengerti oleh pesertanya dalam proses kelembagaan yang berbeda. Kedua, keseluruhan kehidupan individu secara berturu-turut melalui berbagai tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif.

Peralatan konseptual untuk memelihara Universum

Dipandang sebagai suatu konstruksi kognitif, universum simbolis bersifat teorotis. Berasal dari proses refleksi subyektif yang setelah melalui obyektivasi sosial melahirkan ikatan yang eksplisit..

Prosedur spesifik pemeliharaan universum menjadi perlu apabila universum simbolis bersangkutan telah menjadi masalah. Seperti suatu masyarakat yang berhadapan dengan sebuah masyarakat lain yang mempunyai sejarah berbeda.

Peralatan konseptual tersebut meliputi mitologi sebagai tingkat dimana terdapat terdapat kebutuhan paling kecil untuk pemeliharaan universum secara teoritis dengan melampaui pengandaian bahwa universum yang bersangkutan merupakan kenyataan obyektif. Kedua adalah teologi yang berfungsi sebagai paradigma bagi konseptualisasi filosofis dan ilmiah.

Organisasi sosial untuk mempelajari universum

Semua universum yang dibangun secara sosial berubah dan perubahan itu ditimbulkan oleh tindakan konkret manusia. Untuk dapat memahami keadaan universum pada waktu tertentu harus dipahami organisasi sosial yang memungkinkan para pembuat definisi melakukan tugas itu.

Munculnya personil yang mengabdikan diri sepenuhnya pada legitimasi yang mempertahankan universum juga menimbulkan peluang bagi konflik sosial.


Materialisme adalah paham ajaran yang menekankan keunggulan faktor-faktor material atas yang spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, epistimologi atau penjelasan historis. Ada beberapa macam materialisme, yaitu materialisme biologis, materialisme parsial, materialisme antropologis, materialisme dialektis, dan materialisme historis.

Adalah Karl Marx (1818-1883) tokoh utama yang mengaitkan filsafat dengan ekonomi. Dalam pandangannya, filsafat tidak boleh statis, tetapi harus aktif membuat perubahan-perubahan karena yang terpenting adalah perbuatan dan materi, bukan ide-ide (hal ini berbeda dengan Hegel). Manusia selalu terkait dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan yang melahirkan sejarah. Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat, yang beraktivitas, terlibat dalam suatu proses produksi. Hakikat manusia adalah kerja (homo laborans, homo faber). Jadi, ada kaitan yang erat antara filsafat, sejarah dan masyarakat. Pemikiran Karl Marx ini kemudian dikenal dengan Materialisme Historis atau Materialisme Dialektika.

Pandangan Karl Marx di atas mendapat reaksi yang beragam-ragam di Indonesia. Mengapa? Karena materialisme adalah ajaran Marxisme, yang pada dasarnya memiliki pemikiran sejalan dengan positivisme. Sesungguhnya perintis pemikiran ini bukan hanya Karl Marx, tetapi juga Friedrich Engels (1820-1895). Mereka berdua banyak mendapat inspirasi (terutama metode dialektikanya) dari filsuf Jerman yang sangat berpengaruh, yaitu GWL Hegel (1770-1831). Marx adalah tokoh pertama yang mengaitkan filsafat dengan ekonomi. Dalam perspektifnya, filsafat tidak boleh statis, tetapi harus aktif membuat perubahan-perubahan karena yang terpenting adalah perbuatan dan materi, bukan ide-ide (hal ini berbeda dengan Hegel). Jalan pemikiran Karl Marx tersebut menjelaskan pandangannya tentang teori pertentangan kelas, sehingga pada perkembangan berikutnya melahirkan komunisme.

Dalam realitas, Marxisme adalah suatu gagasan yang menarik untuk dicermati dari sudut pandang sains oleh kaum intelektual dan mahasiswa. Namun bagi pemerintah dan mayoritas bangsa, Marxisme adalah ajaran sesat dan tak bermoral yang bertentangan dengan ideologi negara kita Pancasila, dan UUD 1945. Kuatnya indoktrinasi pemerintah di era orde baru menyebabkan sejumlah intelektual dan mahasiswa hanya mempercakapkannya dalam area kampus. Itu pun hanya semata-mata dalam perspektif Marxisme sebagai gagasan dalam konteks sains. Namun, sulit untuk memungkiri bahwa gagasan-gagasan kaum mahasiswa di era orde baru yang bernyali berteriak lantang memprotesi berbagai kebijakan pemerintah yang konon katanya sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme, dan kuatnya peranan militer (militerisme) dalam mengamankan legitimasi kepemimpinan Orde Baru di pundak Presiden Soeharto, boleh dapat dikatakan bernafaskan roh atau jiwa dari gagasan Marxisme. Argumen ini mengemuka karena pada era itu yang menjadi value demokrasi Indonesia adalah musyawarah untuk mufakat, bukan demonstrasi, apalagi people power.

Labeling adalah proses melabel seseorang. Label, menurut yang tercantum dalam Handbook for The Study of Mental Health, adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia.Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia


Pemikiranya:

  1. Bapak Sosiologi, anggapannya sosiologi terdiri dari dua bagian pokok, yaitu social statistics dan social dynamics. Sebagai social statistics sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan.
  2. Social dynamics meneropong bagaimana lembagalembaga tersebut berkembang dan mengalami perkembangan sepanjang masa.
  3. Tiga tahap perkembangan pikiran manusia

a) Tahap teologis, ialah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia.

b) Tahap metafisis, pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala gejala di dunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di atas manusia.

c) Tahap positif, merupakan tahap di mana manusia telah sanggup untuk berpikir secara ilmiah

PENGERTIAN ANTROPOLGI

  1. Berasal dari bahasa Yunani ‘Antropos’ dan ‘Logos’
  2. Epistemologis (Asal Kata)
  3. “Antropos” : Makhluk manusia
  4. “Logos” : Pikir, pengetahuan yang terorganisir= Ilmu
  5. Jadi pengetahuan yang tidak terorganisir tidak tersistematisir, bukan ilmu tetapi hanya melihat pada gejala.

MENGAPA PERLU MEMPELAJARI ANTROPOLOGI?

  1. Menjelaskan pola perilaku dan sikap suatu masyarakat tertentu
  2. Menjelaskan pelbagai perbedaan budaya terkait dengan wujud, isi dan aspek budaya suatu masyarakat
  3. Berperilaku selaku manusia dengan predikat HOMO SAPIENS dan HOMO HUMANIS terkait dengan peran dan fungsi di masyarakat

RUANG LINGKUP ?

  1. Meliputi obyek studi tentang manusia sebagai makhluk antropos dan satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kemampuan multi dimensional dan memiliki budaya dan tetap survive (tidak akan punah) dengan kemampuannya menciptakan sesuatu dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleka dan mampu beradaptasi pada lingkungannya, atas dasar kemampuan budayanya sepanjang masa
  2. Peserta didik diharapkan mampu mengimplementasikan teori-teori bidang studi antropologi budaya dalam praktek dan dalam kenyataan yang ada dalam suatu masyarakat dengan pelbagai perilaku yang khas.
  3. Mampu menjelaskan mengapa masyarakat memiliki dinamika yang selalu berubah dengan segala hal yang menyebabkan perubahan tersebut baik yang bersumber dari dalam masyarakat maupun karena kontak budaya dari luar.



Sarjana Antrpologi pertama yang mengembangkan metoologi untuk mendeskripsikan etos kebudayaan adalah Ruth Benedict, seorang ahli antropologi wanita bekas murid Frans Boas. buku dimana dia menguraikan konsepsinya sangat terkenal dalam dalam dunia antropologi (juga di Indonesia), yaitu "Pattern Of Cultur" (1934). Buku ini mula-mula adalah ceramah yang dibacakanya pada suatu konferensi ilmiah "Congress Of Americanists" ke-23.




Agama, secara historis memiliki citra integrafik dari sumber konflik. Dari khazanah ilmu-ilmu sosiologi modern, agama ternyata tidak dikaitkan dengan konflik, melainkan lebih kepada integrasi.
Emile Durkheim sebagai salah seorang Sosiolog abad ke-19, menemukan hakikat agama yang pada fungsinya sebagai sumber dan pembentuk solidaritas mekanis. Ia berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Melalui simbol-simbol yang sifatnya suci. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yag terikat satu kesamaan. Durkheim membedakan antara solidaritas mekanis dengan solidaritas organis. Dengan konsep ini ia membedakan wujud masyarakat modern dan masyarakat tradisional.
Ide tentang masyarakat adalah jiwa dari agama, demikian ungkap Emile Durkheim dalam The Elementary Form of Religious Life (1915). Berangkat dari kajiannya tentang paham totemisme masyarakat primitive di Australia, Durkheim berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk dasar agama meliputi :
1. Pemisahan antara `yang suci' dan `yang profane'
2. Permulaan cerita-cerita tentang dewa-dewa
3. Macam-macam bentuk ritual.

Dasar-dasar ini bisa digeneralisir di semua kebudayaan, dan akan muncul dalam bentuk sosial. Masyarakat baik di Barat maupun di Timur, menunjukkan adanya suatu kebutuhan social yang berupa `kebaikan permanent'.
Menurut teori Durkheim, Agama bukanlah `sesuatu yang di luar', tetapi `ada di dalam masyarakat' itu sendiri, agama terbatas hanya pada seruan kelompok untuk tujuan menjaga kelebihan-kelebihan khusus kelompok tersebut. Oleh karena itu, agama dengan syariatnya tidak mungkin berhubungan dengan seluruh manusia.
Kritikan lain yang dikemukakan oleh Emile Durkheim; bahwa Animisme dan Fetishisme yang bersifat individualistik, tidak dapat menjelaskan agama sebagai sebuah fenomena sosial dan kelompok.
Menurut Durkheim, Intelektualisme yang meyakini bahwa jelmaan pertama kali agama dalam bentuk kelompok adalah ritual nenek moyang, yang menyembah para ruh nenek moyang mereka.
Kedudukan agama di sini sama dengan kedudukan kekerabatan, kesukuan, dan komunitas-komunitas lain yang masih diikat dengan nilai-nilai primordial. Masyarakat yang masih sederhana, dengan tingkat pembagiab kerja yang rendah terbentuk oleh solidaritas mekanis. Ikatan yang terjadi bukan karena paksaan dari luar atau karena intensif ekonomi semata, melainkan kesadaran bersama yang didasarkan pada kepercayaan yang sama dan nilai-nilai yang disepakati sebagai standar moral dan pedoman tingkah laku. Dengan solidaritas mekanis tersebutmasyarakat menjadi homogen dengan kesadaran kolektif yang tinggi tetapi menenggelamkan identitas pribadi untuk agar tercipta kebersamaan. Maka dari itu masyarakat yang berdasarkan system kekeluragaan dan kekerabatan serta kegotong-royongan yang dipertahankan oleh asas keharmonisan.
Pada waktu itu Durkheim yang hidup pada masa perkembangan Kapitalisme dan Revolusi Industri, telah memeberikan jawaban. Menurut pendapatnya pada masyarakat yang semakin haterogen, ikatan-ikatan primordial yang semula mengikat individu dalam simbol-simbol kebersamaan akan mulai memudar. Solidaritas mekanis akan segera tergantikan oleh solidaritas organis, suatu solidaritas baru yang didasarkan pada kesadaran terhadap kondisi pluralitas yang terbentuk apabila apabila dalam masyarakat yang telah mengalami proses individualisasi itu telah timbul kesadaran adanya saling ketergantungan di antara mereka dan timbul pula rasa saling membutuhkan.
Dalam masyarakat modern yang cirinya adalah diferensiasi fungsional yang tinggi dan pembagian kerja yang rumit, maka keharmonisan yang sederhana mulai terancam dan potensi konflik mulai membesar. Masalah ini kemudian menjadi keprihatinan umum diantara para pemikir abad ke-19 termasuk Emile Durkheim, yang menjadi sumber informasi penting bagi lahirnya Sosiologi. Oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang mendapat perhatian besar bagi para pemikir di masa itu dalam ramgka untuk memahami gejala harmoni dan faktor-faktor integrasi.
Revolusi Industri dan perkembangan Kapitalis awal di Eropa Barat pada abad ke-19 ditandai oleh timbulnya konflik yang memuncak dan kerap kali berakhir dengan revolusi. Ada dua persepsi mengenai timbulnya konflik pada masa industialisasi yang bersifat kapitalis itu. Pertama konflik timbul karena persainganm dalam akses terhadap sumber daya dan perebutan manfaat. Dan kedua timbul karena dampak destruktif kapitalisme terhadap ikatan-ikatan tradisional dan kesepakatan-kesepakat normatif. Itulah mengapa orang seprti Durkheim kembali menengok kembali pada masyarakat pra-industri untuk mengetahui sebab-sebab hakiki dari konflik dan harmoni dalam masyarakat, guna mencari dasar-dasar baru bagi suati intergritas masyarakat modern.
Dengan melihat pada latar belakang industrialisasi, perkembangan kapitalisme dan proses terbentuknya masyarakat modern, maka agama dalam tradisisi pemikiran sosiologi, tidak dipersepsikan sebagai sumber konflik. Agama, sebagai sistem kepribadian, sistem sosial dan sisstem budaya, yang berhadapan denga proses-proses diatas memang mengalaimi disintegrasi. Dalam proses disintegrasi itu akan timbul konflik. Tetapi sumber konflik itu bukanlah agama melainkan proses terbentuknya masyarakat ekonomi baru yang menimbulkan persaingan, sebagai suatu bentuk konflik yangtelah direduksi menjadik konflik yang terkendali, berdasarkan kerangkan aturan main yang disepakati. Dengan perkataan lain bahwa, agama adalah penerima dampak dari proses perubahan. Di sini agama memang bisa berhadapan dengan nilai-nilai baru.
Agama bisa dikatakan sebagai hambatan bagi suatu proses yang dikehendaki, dan agama memeng menghadapi konflik. Persoalan yang timbul dari perebutan sumberdaya akan akan menyeret agama kedalam suatu konflik, apabila agama dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam pembicaraan mengenai agama sebagai faktor integratif dan pencipta harmoni, tersembunyi suatu asumsi tertentu mengenai konflik. Dlam konteks ini konflik dilihat sebagai gejala patologis yang tampak sebagai suatu penyakit dalam masyarakat. Pandangan positif mengenai agama sebagai kekuatan integratif, seperti yang tercermin dalam teori Durkheim, bertolak dari asumsi ini, Durkheim bersifat pesimistis dalam melihat kedudukan dan peran agama dalam masyarakat modern. Karena itulah maka ia berusaha mencari substitusi agama yang ia temukandalam ideologi sosialisme, terutama sosialisme gilda guild sosialism. Menurut analisis Durkheim, sosialisme adalah merupakan protes kaum pekerja terhadap situasi disintegrasi yang terjadi pada ikatan-ikatan sosial dan sistem tradisional dan bukannya perjuangan untuk menghapus institusi hak milik pribadi.
Pemberontakan timbul karena situasi anomi, dimana masyarakat tidak lagi memiliki pegangan normatif yang menjadikan hidup kosong nilai. Negara sebagai produk modernitas, sebenarnya dimaksudkan juga sebagai substitusi terhadap institusi agama. Sebagaimana halnya agama, maka negara juga menciptakan obyek-obyek suci yang berusaha mengikat individu melalui upacara-upacara repetitif sebagai bentuk ritual baru. Hari-hari besar untuk di peringati, pahlawan, kuburan para pemimpin negara, museum, patung-patung, tugu-tugu, bendera kebangsaan, dan lembaga negara itu sendiri. Upacara- upacara yang dilakukan negara denga khidmat dan disikapin secara religius. Upacara –upacara dimaksudkan untuk membentuk referensi spiritual mengikat individu dalam solidaritas mekanis dan menimbulkan komitmen nilai yang telah ditetapkan oleh negara.
Ada kalanya negara modern membentuk suatu ideologi nasional yang mewadahi nilai-nilai luhur yang dirumuskan sebagai kesepakatan. Ideologi nasional itu tidak saja memberikan makna, tetapi juga merupakan pedoman tingkah laku. Dengan ideologi, setiap warga negara tidak saja diharapkan patuh kepada pimpinan nasional atau aturan birokrasi, melainkan juga bertindak dengan sikap mengabdi. Disinilah terjadi integrasi penuh antara agama dengan negara.
Namun, banyak yang menentang Pandangan Durkheim bahwa seruan Tuhan itu terbatas hanya pada seruan kelompok saja, dainggap tidak benar dan bahkan kebalikan yang terdapat dalam agama. Sebab dalam agama -pada umumnya- seruan Tuhan tidak membatasi suatu kelompok tertentu. Bahkan seruan Tuhan menyeluruh untuk semua manusia pada persamaan dan persaudaraan

POKOK-POKOK PIKIRAN

Jantung bab ini adalah pembahasan prinsip-prinsip dasar interaksi simbolis. Sekalipun kita menjelaskan teori ini dalam pengertian umum, namun ini tidak akan mudah dilakukan.
Beberapa penganut interaksionisme Simbolis ( Blumer, 1969; Manis dan Meltze, 1978; A. Rose; 1962; Snow, 2001 ) mencoba mengemukakan prinsip-prinsip dasar teori ini. Prinsip-antara lain:
1. Tidak seperti binatang yang lebih rendah, manusia memeilki keunggulan yaitu punya kemampuan untuk berfikir.
2. Melalui interaksi sosial kemampuan manusi untuk berfikir itu terbentuk.
3. Kenyataan atas simbol dan makna dalam interaksi social menuntut manusia untuk belajar dan menggunakan anugerah pikiran.
4. Respon, tindakan dan interaksi menuntut manusia dalam makna dan simbol.
5. Tafsir terhadap situasi social dalam simbol dan makna yang manusia gunakan dimodifikasi ataupun diubah.
6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini, sebagian karena kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan diri mereka sendiri. Yang memungkinkan mereka memikirkan tindakan yang mungkin dilakukan, menjajaki keunggulan dan kelemahan relative mereka, dan selanjutnya memilih.
7. Jalinan pola tindakan dengan interksi ini kemudian menciptakan kelompok dan masyarakat.


KEMAMPUAN BERFIKIR

Bihaviorisme yang menjadi akar dibedakan dengan interaksionisme simbolik berangkat dari asumsi bahwa manusia memilki kemampuan berfikir. Asumsi ini menjadi basis bagi seluruh orientasi teoritis interaksionisme simbolis. Bernard Meltzer, James Petras, dan Larry Reynolds menyatakan bahwa asumsi dasar atas kemampuan berpikir manusia adalah salah salah satu sumbangsih atas interaksionisme simbolis awal seperti James, Dewe, Thomas, Cooley, dan tentu saja, Mead. Menurut Mead ; “Individu dalam masyarakat tidak dipandanng sebagai unit-unit yang dimotifasi oleh kekuatan eksternal atau internal yang tidak dapat mereka kendalikan, atau dalam batas-batas struktur yang kurang bersifat tetap. Namun, mereka mereka dipandang sebagai unit-unit yang reflektif atau yang berinteraksi, yang merupakan entitas sosial” ( 1975: 42 ).
Kemampuan berpikir melekat dalam pikiran, namun penganut interaksionisme simbolik memiliki konsepsi pemikiran yang tidak lazim, yaitu memandang pikiran muncul dalam sosialisasi kesadaran. Mereka membedakanya dengan otak fisiologis. Orang harus memilki otak dalam mengembangkan pikiran, namun otak tidak serta-merta memunculkan atau menghasilkan pikiran, sebagai mana terlihat pada binatang yang lebih rendah, yang notabenya juga memiliki otak secara fisiologis (Throyer, 1964). Penganut interaksionisme simbolik pun tidak memahami pikiran sebagai benda, struktur fisik, namun sebagai proses yang berlangsung secara terus menerus. Ini adalah proses yang yang merupakan bagian dari proses stimulus dan respon yang lebih besar. Pikiran hampir seluruhnya terkait dengan setiap aspek lain IS, termasuk sosialisasi, makna, simbol, diri, interaksi dan bahkan masyarakat.


BERPIKIR DAN INTERAKSI

Orang hanya memiliki kemampuan berpikir secara umum. Kapasitas ini harus dibentuk dan dipoles dalam proses interaksi sosial. Pandangan semacam itu menyebabkan interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk interaksi sosial spesifik. Kemampuan berpikir manusia berkembang pada awal sosialisasi masa kanak-kanak dan mengalami penyempurnaan sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan hidup manusia tersebut. Interaksionisme simbolik memilki pandangan terhadap proses sosialisasi yang berbeda dengan kebayakan sosiolog lain. Bagi interaksionisme simbolik sosiologi kontroversial lebih cenderung melihat sosialisasi hanya sekedar sebagai proses mempelajari berbagai hal yang dibutuhkan seseorang untuk bertahan hidup ditengah-tengah masyarakat (seperti misalnya, kebudayaan dan ekspektasi peran sosial). Bagi Interaksionisme simbolik, sosialisai adalah proses dinamis yang memungkinkan orang mengembangkan kemampuan pikiran, dan tumbuh secara manusiawi. Lebih jauh lagi, sosialisasi tidak hanya sekedar satu arah dimana aktor hanya menerima informasi, namun satu proses dinamis dimana aktor membangun dan memanfaatkan informasi untuk memenuhi kebutuhanya sendiri (Manis dan Melltzer, 1978: 6).
Tentu saja, interaksionisme simbolik tidak hanya tertarik pada sosialisasi namun juga pola interaksi secara umum. Interaksi adalah proses ketika kemampuan berpikir dikembangkan dan diekspresikan. Semua jenis interaksi, tidak hanya pada saat proses sosialisasi, menambah kemampuan berpikir kita. Di luar itu, berpikir juga membangun proses interaksi. Pada sebagian besar interaksi, aktor harus mempertimbangkan orang lain untuk memutuskan ya atau tidak dan bagaimana menyesuaikan aktivitasnya dengan aktivitas orang lain. Namun tidak semua proses interaksi membutuhkan aktifitas berpikir. Pembedaan yang dilakukan Blummer antara dua bentuk interaksi sosial relevan dalam pokok pembahasn ini. Yang pertama, yaitu interaksi nonsimbolis –gagasan Mead tentang perbincangan gesture- tidak melibatkan proses berpikir. Yang kedua, interaksi simbolis, membutuhkan proses mental.
Ari penting berpikir bagi interaksionisme simbolik direfleksikan dalam pandangan mereka tentang objek. Blummer membedakan tiga jenis objek menjadi :
1. Objek Fisik, seperti kursi, bangunan atau pohon.
2. Objek Sosial, seperti ayah, ibu, mahasiswa, bahkan wanta cantik.
3. Onjek Abstrak, seperti pikiran, ide, gagasan dan moral.

Objek hanya dipandang sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata. Yang terpenting dalam hal ini adalah bagaimana itu semua didefinisikan oleh aktor. Proses pendefinisian oleh aktor menibulkan pandangan relatifistis bahwa objek berbeda memilki makna berbeda pula bagi orang yang berbeda. “sebatang pohon akan memilki makna berbeda bagi ahli botani, tukang kayu, penyair, dan bahkan pembuat taman rumah” (Blummer, 1969b: 11).
Individu-individu mempelajari makna-makna selama proses sosialisasi. Sebagian kita mempelajari seperangkat makna secara bersama, namun dalam kebanyakan kasus seperti dalam masalah kayu diatas, kita memilki definisi yang berbeda dalam satu objek yang sama. Walaupun dalam pandangan defisional ini dapat ditarik sampai ke ujung ekstrim, kalangan interaksionisme simbolik tidak perlu menafikkan keberbedaan dalam dunia nyata. Yang peril mereka lakukan adalah menunjukan sifat terpenting dalam definisi objek-objek tersebut serta kemungkinan bahwa aktorbisa saja memiliki definisi yang berbeda terhadap objek yang sama.


MEMPELAJARI MAKNA DAN SIMBOL

Interaksionisme simbolik, mengikuti Mead cenderung setuju pada signifikansi kasul interaksi sosial. Jadi, makna tidak tumbuh dari proses mental soliter namun dari interaksi. Focus ini berasal dari prgmatisme Mead, ia memusatkan pada perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental yang terisolasi. Diantaranya, pokok perhatian utamanya bukanlah pada bagaimana orang secara mental menciptakan makna dan simbol, namun bagaimana mereka mempelajarinya selama interaksi pada umunya dan khususnya selama sosialisasi.
Orang mempelajari makna sekaligus makna dalam interaksi sosial. Kendati merespon tanpa berpikir, orang merespon simbol melalui proses berpikir. Tanda memilki arti sendiri (misalnya gesture anjing yang marah atau air bagi orang yang sekarat karena kehausan). “Simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk merepresentasikan apa-apa yang yang memang disepakati bisa direpresentasikan oleh simbol tersebut” ( Charon, 1998: 47). Tidak semua objek sosial mewakili sesuatu yang lain, sebaliknya, simbol justru sebaliknya. Kata-kata, artefak, dan tindakan fisik, misalnya kata perahu, salib atau bintang daud, dan jabat tangan erat, semua itu dapat menjadi simbol orang sering menggunakan simbol untuk mengartikan semua tentang diri mereka. Semisal mereka menggunakan mobil BMW atau merek mobil lainya, untuk mengkomunikasikan gaya hidup tertentu.
Interaksionisme simbolik memahami bahasa sebagai sistem simbol yang begitu luas. Kata-kata menjadi simbol karena mereka digunakan untuk memaknai berbagai hal. Kata-kata memungkinkan adanya simbol lain. Tindakan, objek, dan kata lain hadir dan memiliki makna yang hanya mereka telah dan dapat digambarkan melalui penggunaan kata-kata.
Simbol menduduki posisi krusial dalam membuka kemungkinan orang bertindak secara manusiawi. Karena simbol, manusia tidak dapat merespon secara pasif realitas yang datang padanya namun secara aktif menciptakan dan menciptakan kembali dunia tempat ia bertindak (Charon, 1998: 69). Selain manfaat umum ini, simbol pada umumnya dan bahasa pada khususnya memiliki sejumlah fungsi spesifik bagi aktor.
1. Simbol memungkinkan orng berhubungan dengan dunia materi dan dunia sosial kaerana dengan simbol mereka bisa memberi nama, membuat kategori, dan mengingat objek yang mereka temui. Dalam hal ini, orang mampu menata dunia yang jika tidak ditata, pasti akan sangat membingungkan. Bahasa memungkinkan orang memberi nama, membuat ktegori, dan khususnya mengingat secara efisien dari pada yang dapat mereka lakukan pada simbol lain, seperti citra pictorial.
2. Simbol meningkatkan kemampuan orang mempresepsikan lingkungan. Alih-alih dibanjiri oleh begitu banyak stimulus yang tidak dapat dipilah-pilah, aktor lebih mengetahui beberapa bagian lingkungan daripada yang lainya.
3. Simbol meningkatkan kemampuan berpikir. Meskipun seprangkat simbol piktorial memungkinkan kemapuan terbatas untuk berpikr, bahasalebih banyak berperan dalam meningkatkan kemampuan ini. Dalam hal ini berpikir dapat dipahami sebagi interaksi simbolis dengan diri sendiri.
4. Simbol meningkatkan kemampuan orang memecahkan masalah. Binatang yang lebih rendah harus menggunakan cara coba-coba, namun manusia dapat berpikir melalui berbagai tindakan alternative simbolis sebelum benar-benar melakukanya. Kemampuan ini mampu mengurangi peluang bagi kesalahan berat.
5. Penggunaan simbol memungkinkan aktor melampaui ruang, waktu, dan bahkan diri pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan simbol, aktor dapat membayangkan bagaimana rasanya hidup di massa lalu atau bagimana rasanya hidup di massa yang akan datang. Selain itu, aktor mampu melampaui diri mereka secara simbolis dan membayangkan seperti apa rasnya dunia dari sudut pandang orang lain. Ini adalah konsep interaksionisme simbolik yang paling terkenal, yaitu mengambil peran orang lain.
6. Simbol memungkinkan kita membayangkan realitas metafisis, seperti surga atau neraka.
7. Yang palinh umum, simbol memungkin orang menghindar dari perbudakan yang datang dari lingkungan mereka. Mereka bisa aktif ketimbang pasif yaitu mengendalikan sendiri apa yang mereka lakukan.


TINDAKAN DAN INTERAKSI

Pokok perhatian interaksionisme simbolik adalah dampak makna dan simbol pada tindakan dan interaksi manusia. Dalam hal ini ada gunanya mengguanakan gagasan Mead tentang perbedaan perilaku tertutup dengan perilaku terbuka. Perilaku tertutup adalah proses berpikir, yang melibatkan simbol dan makna. Perilaku terbuka adalah perilaku aktual yang dilakukan oleh aktor. Beberapa perilaku terbuka tidak melibatkan perilaku tertutup (misalnya perilaku habitual atau respon tanpa berpikir terhadap stimulus eksternal). Namun, kebanyakan tindakan manusia melibatkan kedua perilaku tersebut. Perliaku tertutup menjadi pokok perhatian penting Interaksionisme simbolik, sementara itu perilaku terbuka menjadi pokok perhatian terpenting para teoritis pertukaran atau behavioris tradisional pada umumnya.
Makna dan simbol memberi karakteristik khusus terhadap tindakan sosial (yang melibatkan aktor tunggal) dan interaksi sosial (yang melibatkan dua aktor atau lebih yang melakukan tindakan sosial secara timbale balik). Dengan kata lain, ketika melakukan suatu tindakan sosial, orang juga memperkirakan dampaknya pada aktor lain yang terlibat. Meski sering kali terlibat dalam perilaku habitual tanpa berpikir, orang memilki kapasitas untuk terlibat dalam tindakan sosial.
Dalam interaksi sosial, secara simbolis orang mengkomunikasikan makna kepada orang lain yang terlibat. Orang lain menafsirkan simbol-simbol tersebut dan mengarahkan respon tindakan berdasarkan penafsiran mereka. Dengan kata lain, dalam interaksi sosial, aktor terlibat dalam proses pengaruh-mempengaruhi. Crishtoper (2001) menamakan interaksi sosial dinamis ini dengan tarian yang melibatkan pasangan


MENETAPKAN PILIHAN

Sebagian karena kemampuan menciptakan makna dan simbol, tidak seperti binatang, orang dapat menetapkan pilihan tindakan yang akan mereka lakukan. Orang tidak perlu menerima makna dan simbol yang dipaksakan dari luar kepada mereka. Berdasarka tafsis mereka terhadap situasi tersebut, “manusia dapat menciptakan makna baru dan alur makna baru”(Manis dan Meltzer, 1978: 7). Jadi, bagi Interaksionisme simbolik, aktor sekuranng-kurangnya memilik otonomi. Mereka tidak sekedar dikekeng atau diarahkan. Mereka mampu menetapkan pilihan yang unik dan independen, selain itu mereka mampu mengembangkan kehidupan yang memiliki gaya unik (Perinbayanagan, 1985: 53).
W. I. Thomas dan Dhorroty Thomas berperan penting dalam menegaskan kapasitas kreatif ini dalam konsep Definisi situasi : “jika manusia mendefinisikan bahwa sejumlah situasi riil adanya, maka konsekuensi yang ditimbulkan pun bersifat riil” (Thomas dan Thomas, 1928: 572). Keduanya sadar sepenuhnya kalau sebagian definisi situasi kita diberikan oleh masyarakat. Sebenarnya, mereka menegaskan poin ini, debgab secara khusus mengidentifikakan keluarga dan komunitas sebagai sumber definisi sosial kita. Namun, pandangan mereka menjadi berbeda karena menitikberatkan kemungkinan adanya definisi situasi individual secara spontan, yang memungkinkan orang mengubah dan memodifikasi makna dan simbol.
Kemampuan aktor menciptakan perbedaan ini tercermin dalam esai Gary Fine dan Sheryl Kleinman (1983) yang lebih memperhatikan fenomena ”jaringan sosial”. Alih-alih melihat jaringan sosial sebagai struktur sosial dasar dan atau mengekang


KELOMPOK DAN MASYARAKAT

Secara umum interaksionisme simbolik bersikap sangat kritis terhadap kecenderungan sosiolog lain dalam dalam menfokuskan perhatianya pada stuktur makro. Seperti dikatakan Rock, “interaksionisme memandang sebagian besar pemikiran sosiologi makro sebagai metafisika yang tidak menentu dan terlalu ambisius….tidak diselami dengan telaah yang cermat (1979: 238). Dimitri Shallin menunjuk kepda “kritik interaksionis yang ditujukan kepada pandanngan klasik tentang tatanan sosial sebagai sesuatu yang bersifat eksternal, attemporal, bersifat pasti pada moment tertentu dan sulit diubah”(1986: 14). Rock pun mengatakan, “sementara interaksionisme simbolik tidak sepenuhnya menghindari gagasan struktur sosial, penekananya pada aktifitas dan proses justru menurunkan metafora pada tempat terendah”(1979: 50).

Followers

Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger