Evolusi Parsel

Parsel sering kita temui ketika akan menjelang hari-hari besar seperti idul fitri. Parsel merupakan kado (gift) berwujud beraneka ragam barang dan makanan yang dikemas secara unik dan menarik untuk diberikan atau untuk bingkisan pada hari-hari tertentu sebagai hadiah kepada sanak saudara, kolega, sahabat, dan lain sebagainya. Mungkin kita pun pernah mendapatkan parsel dari saudara atau teman, dan kita akan senang ketika mendapatkanya. Harga dan permintaan akan parsel pun naik tinggi ketika mendekati hari raya khususnya Idul Fitri (karena konteks orang Indonesia yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam). Parsel memang memiliki berjuta makna dan menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Namun kontroversi tentang pengiriman dan penerimaan parsel belum juga sirna, bahkan menjadi ritual tahunan yang selalu berulang. Seakan tak mau kecolongan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak dini mengeluarkan “fatwa” tentang pelarangan menerima parsel bagi seluruh pejabat penyelenggara Negara, walau harganya dibawh Rp500.000 sekalipun. Namun, parsel bisa tetap diterima, asal melaporkanya ke KPK maksimal 30 hari. KPK berpijak pada Undang-undang No. 20/2001 tentang pemberantasan Tipikor pasal 12b, dengan memasukan parsel sebagai gratifikasi, yaitu pemberian yang meliputi uang, barang, rabat diskon, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainya. Jelas, dalam UU ini tidak disebutkan batas minimal nominal harga parsel.

Secara fisik parsel sebenarnya tidak terlalu istimewa karena hanya berupa kado (gift) berwujud beraneka ragam barang yang dikemas dan ditampilkan secara menarik untuk diberikan atau untuk bingkisan sebagai hadiah kepada orang lain. Harganya variatif mulai dari puluhan ribu, jutaan, hingga ratusan juta rupiah, tergantung dari komposisi atau kombinasi isinya.

Menarik sekali mencermati fatwa KPK ini. Mengapa lembaga itu merasa perlu turun gunung, mengeluarkan fatwa khusus terhadap benda yang secara fisik berkesan remeh itu. Parsel seolah menjadi barang yang kelewat mengerikan, dengan efek dahsyat, bagi para penyelenggara Negara. Barangkali KPK memang berlebihan jika parsel hanya dimaknai sebagai sebuah kado atau hadiah. Rasanya, tak ada satu agma pun di muka bumi ini yang melarang pemberian hadiah. Alih-alih melarang, agama justru menyarankan kepada umatnya untuk berbuat baik dengan saling memberi kepada sesama. Apalagi biasanya parsel merupakan bagian dari kultur kita yang menemani hari raya Idul Fitri (lebaran)

Dalam konteks fatwa ini nampaknya KPK memaknai parsel secara lebih mendalam. Bukan sekedar hadiah dengan kalkulasi rupiah, KPK lebih memaknai dari potensi madharat-nya daripada manfaatnya, karena ditengarai bisa mempengaruhi penyelenggara Negara.

Dalam perspektif Psikologi, kita dapat mencoba mengkaji lebih jauh dengan pendekatan teory atribusi ( attribution theory ) yang secara khusus menjelaskan tentang asal-muasal yang menjadi sebab dibalik sebuah perilaku. Dipandang dari sudut biologi manusia hanya merupakan satu macam mahkluk diantara lebih dari satu milyar macam mahkluk lain, yang pernah atau masih menduduki alam dunia ini. Pada pertengahan abad ke-19 para ahli biologi, dan yang terpenting diantara mereka C. Darwin, mengumumkan teory mereka tentang proses evolusi boilogi. Menurut teory itu bentuk-bentuk hidup tertua di muka bumi ini, terdiri dari mahkluk-mahkluk satu sel yang sangat sederhana seperti misalnya protozoa. Dalam jangka waktu beratus-ratus juta tahun lamanya timbul dan berkembang bentuk-bentuk hidup berupa mahkluk-mahkluk dengan organisasi yang makin lama makin kompleks, dan pada kala-kala terakhir ini telah berkembang atau telah berevolusi mahkluk-mahkluk seperti kera dan manusia(Koentjoroningrat, 1981 : 61)

Manusia mempunyai bakat yang telah terkandung dalam gen-nya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi dalam kepribadian individunya, tetapi wujud dan pengaktifan dari berbagai dari berbagai macam isi kepribadianya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulant yang berbeda dalam sekitar alam dan lingkungan social maupun budayanya(Koentjoroningrat 1981: 228). Apakah perilaku mengirimkan parsel memang dilatari niat (intensi) dan motivasi intrinsik berasal dari nuraninya yang tulus untuk memberi tanpa embel-embel yang lain, atau dimotivasi faktor ekstrinsik lain yang oleh awam disebut pamrih.

Parsel memang sangat ambigu, multitafsir, apalagi karena melibatkan dua pihak pemberi dan penerima, serta melibatkan faktor yang tak kasat mata. Kita memang berhadapan dengan faktor invisible yang tersembunyi dan personal dalam hati individu, sehingga hanya individu yang bersangkutanlah yang bisa memaknai maksud perilakunya.

Manusia adalah mahkluk yang hidup bukan sebagai mahkluk biologis saja, tetapi juga mahkluk social-individu yang memiliki pikiran dan aspek rokhaniah yang mana aspek itu mempunyai kesamaan dengan aspek biologisnya, dimana bisa berubah sejalan dengan pola pemikiran dan waktu yang berubah pula, dan tidak menutup kemungkinan untuk berevolusi. Seperti dalam sosiologi pemikiran tentang evolusi dalam antropologi adalah hasil pemikiran yang berubah-ubah. Diakhir abad 19 para antropolog-sosial mengidentifikasikan evolusi dari bentuk yang rendah kebentuk yang lebih tinggi. Pola ini ditandai dengan sederetan tingkatan yang berurutan mulai dari tingkat kekejaman, kebiadaban dan sampai ke peradaban. Semakin meningkat kontrol manusia terhadap kehidupan melalui tekhnologi baru, semakin berkembang kebudayaanya. Unsur kebudayaan manusia salah satunya adalah bahasa dimana bahasa merupakan kunci manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya.

Parsel dalam hal ini merupakan bentuk komunikasi simbolik yang berevolusi seiring dengan pola pikir manusia yang berkembang dan lebih maju. Komunikasi sejatinya merupakan proses pengiriman dan penerimaan sebuah pesan atau stimulus, dalam dunia komunikasi pesan tidak harus berwujud kalimat yang tersusun dalam bahasa verbal, pesan dapat pula berwujud non-verbal, seperti ekspresi, isyarat, bahasa tubuh, dan bahkan berwujud simbol kebendaan atau barang. Karena jauh sebelum manusia mengenal tulisan dan bahasa, mereka berkomunikasi hanya dengan sebuah isyarat atau benda dengan makna yang dimaksud. Namun komunikasi telah mengalami evolusi pula dalam segala aspek didalamnya.

Biasanya, sebuah komunikasi akan memberi kesan lebih mendalam keika komunikasi itu tidak sekedar melibatkan suara saja. Satu pesan bisa menimbulkan kesan yang menancap kuat justru jika melalui sesuatu yang bisa diamati, dilihat diraba, dan dirasa oleh panca indra manusia.

Entah kapan dan siapa yang memulai, kini komunikasi juga dilakukan dengan mengirimkan parsel sebagai pesan dengan berjuta makna simbolik didalamnya. Namun, pada hakikatnya suatu penemuan baru biasanya berupa suatu rangkaian panjang, berawal dari penyempurnaan dari suatu yang telah ada. Parsel sebagai komunikasi yang berevolusi menjadi hadiah atau kado adalah suatu perubahan dari komunikasi yang sederhana kemudian mengalami perubahan seiring dengan perubahan waktu dan pola pikir manusia. Bahkan parsel sudah dan telah rerevolusi pula menjadi media untuk melakukan berbagai tindak kejahatan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) termasuk didalamnya. Tidak cukup disitu KKN kini seolah-olah telah menjadi tradisi yang tampil dengan berjuta wajah, parsel barangkali salah satu wajah yang menjadi topengnya.

Para aktor KKN yang dibelai, dibuai, dan dimanja melalui parsel, sejatinya ia telah dimatikan hati, jiwa, dan pemikiran jernihnya dalam membuat berbagai tindakan dan perilakunya. Setidaknya ada perasaan hutang budi dan tidak enak hati karena telah menerima “kebaikan hati” dari seorang kolega yang terbungkus rapi dalam sebuah parsel.

Seandainya kita tulus ikhlas, beranikah kita memberikan parsel yang segedhe-gedhenya kepada saudara kita yang hidup dijalanan, yang terhimpit kemiskinan karena harga BBM yang setinggi langit, dan kita tahu bahwa mereka tidak akan pernah mampu memberi dan membalas kita dengan apa yang mereka miliki. Kalau memeng kita berani entahlah, mungkin memang benar “ada udang di balik batu”. Barang kali ada pamrih atau niat terselubung dibalik semua itu.

Namun pada hakikatnya, bukankah konon manusia itu adalah ANIMAL SYMBOLICUM dan parsel merupakan contoh bahasa symbol itu. Soal maknanya yang pasti tahu hanyalah pengirimnya. Dan inna a’maluu binniat.

Bahwasanya makhluk hidup di dunia ini takkan terpisahkan oleh masalah sosial, dari ujung rambut hingga ujung kaki manusia selalu terkait dan berhubungan dengan masalah sosial karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang pada tataran tertentu memang ada kaitanya dengan manusia lainnya.
Dan memang manusia adalah zoon politicon.

Followers

Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger